PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

Belajar Dari Pepatah Jawa - 3

NABOK NYILIH TANGAN

Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena "pukul" itu.


Ketika orang yang "dituju" dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.

AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA

Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.

Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.

Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.

Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.

Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.

ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri. Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu ajal belaka.

Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.

TUNA SATAK BATHI SANAK

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.

Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur 'saudara' atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).

Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur 'menyaudara' dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.

Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel 'sungkan/enggan' memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).

Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.

ASU BELANG KALUNG WANG

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.

Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.

Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.

Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).

Share to :

Facebook Google+ Twitter Digg
Back To Top