NABOK NYILIH TANGAN
Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara
luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.
Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada
orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin
menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang
lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun
dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah
dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara
demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu
sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang
menimpa orang yang kena "pukul" itu.
Ketika orang yang "dituju" dengan meminjam tangan orang lain itu
berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya
pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan
dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.
AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA
Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.
Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan
sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak
akan dihargai oleh orang lain.
Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui
tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan
bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun
pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang
tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak
tepat penempatannya.
Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita
datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan
perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa
menempatkan diri.
Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita
mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang
tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan
tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.
ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri.
Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu
gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan
bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja
sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu
ajal belaka.
Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang
menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan
digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah
merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini
ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.
TUNA SATAK BATHI SANAK
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.
Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang
pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang
Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan
sedulur 'saudara' atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya
memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang
(material).
Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh
lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika
diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan
keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat
transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur
'menyaudara' dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan
membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang
demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan
ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi
jual beli di masa lalu.
Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan
owel 'sungkan/enggan' memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang
sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau
material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan
membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar
karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang
berupa satak (satu ukuran uang).
Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.
ASU BELANG KALUNG WANG
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.
Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang
secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang
tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan
yang berlimpah.
Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering
digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki
derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak
digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya
itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa
masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.
Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak
dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga
pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki
uangnya).