Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau jamurnya tidak mau bangkainya.
Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang)
yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa
dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau
organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang
dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor,
takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh
yang tidak berkelas, dan sebagainya.
Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak
mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau
arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang
lain.
Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah
kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak,
ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan
tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu
justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya
makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.
KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam
tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam
tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak
akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.
Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran,
referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan
tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan
berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang
pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam
tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya
sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di
luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya
agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.
Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong
atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau
pengetahuannya masih sedikit/dangkal.
SAPA GAWE BAKAL NGANGGO
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa
membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut bermakna bahwa siapa
pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya,
bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan
bertanggung jawab.
Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan
itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya
merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau
hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang
mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena
mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan
mungkin kepada famili dan keturunannya.
Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka
alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan
hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat
jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan
dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin
juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan
menerima akibat atau resikonya.
TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon) jarak menjadi
banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat
diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang
akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan. Sedangkan tanaman
jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas
baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang
induknya.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan
kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari
kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi
penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi,
namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya
adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak
memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang
besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti
atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.
ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA
Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau
menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh
atau garis keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan
menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.
Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak
menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai
sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu
hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri
lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang
bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.
Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap
orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan
kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya
keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah
keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang
menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain
tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan
berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.
Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang
atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda
yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu.
Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.
Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian
besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan
kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika
terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar
(saking beratnya).
Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia
menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala
hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan
lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di
seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu
menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.
ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN
Pepatah Jawa tersebut secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat
tidak senggolan. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan
untuk menggambarkan keberadaan kekasih atau Tuhan.
Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan
orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di
sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu
sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada
di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu
berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di
hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.
Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan
bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh,
seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak
dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati
masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.
SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari
(lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti
satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi)
selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah
dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang
sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan
taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat
dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas
kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan.
Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah
mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain.
Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang
kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau
tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu
identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar
boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.